Friday, April 22, 2011

taqlid dan Talfik

Taqlid dan Talfiq
Taqlid dari segi bahasa berasal dari kata qiladah [kalung] (Munawwir, 1997) yaitu yuqallidu ghairahu biha (mengikuti pendapat orang lain). Dan dari segi istilah berarti mengikuti pendapat orang lain (qail) dan tidak mengetahui hujjahnya atau dalilnya (Hakim, tanpa tahun). Atau dengan pengertian lain taqlid berarti mengambil pendapat orang lain untuk diamalkan tanpa mengetahui dalilnya. Misalnya mengambil pendapat Imam Syafi’i yaitu menyapu sebagian kepala dalam berwudhu tanpa mengetahui dalil pendukungnya itu. Mengikuti pendapat Abu Hanifah yaitu tidak membaca al-Fatihah bagi makmum ketika sholat, tanpa mengetaui dalil yang mendasari pendapat itu (Insiklopedi Hukum Islam, 2001).
Sedangkan Talfiq adalah cara mengamalkan suatu ajaran agama dengan mengikuti secara taqlid tata cara berbagai madzhab, sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat berbagai madzhab. Ulama’ Ushul Fiqh mendefinisakan Talfiq dengan melakukan suatu amalan dengan tata cara yang sama sekali tidak dikemukakan oleh mujtahid manapun (Insiklopedi Hukum Islam, 2001). Dalam masalah ini disyaratkan dua hal yaitu mengikuti pendapat dengan cara taklid dan adanya penggabungan beberapa pendapat dalam satu permasalahan. Dan terkait dengan permaslahan talfiq ini, ulama fiqh juga membahas persoalan mengambil amalan atau pendapat dari berbagai madzhab yang paling mudah dan ringan. Dalam istilah seperti ini disebut dengan tabarru’ur rukhash. Dan terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’ berkenaan dengan hal ini
Contoh talfiq yaitu dapat dikemukakan sebagai berikut. Ketika berwudhu khususnya saat menyapu kepala, seorang mengikuti tata cara yang dikemukakan oleh Imam asy-Syafi’i. Beliau berpandapat bahwa dalam berwudhu seorang cukup menyapu sebagian kepala, yang batas minimalnya tiga helai rambut. Setelah berwudhu orang tersebut bersentuhan kulit dengan seorang perempuan yang bukan mahramnya. Sedangkan menurut Syafi’i persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan ajnaby (perempuan yang halal dinikahi) tanpa hijab membatalkan wudhu. Namun dalam persentuhan kulit setelah berwudhu orang tersebut mengambil pendapat Imam Abu Hanifah dan meninggalkan pendapat Syafi’i. Abu Hanifah menyatakan bahwa persentuhan kulit tersebut tidak membatalkan wudhu. Dalam kasus ini, pada amalan wudhu terkumpul dua pendapat sekaligus yaitu pendapat Imam asy-Syafi’i dan pendapat Imam Abu Hanifah. Dampaknya adalah amalan itu tidak dinilai benar (sah) oleh masing-masing imam alias batal.
Pendapat 4 Imam Madzhab Mengenai Taklid
Imam Abu Hanifah berkata, “Jika pendapatku menyalahi (bertentangan) dengan kitab Allah dan Hadits maka tinggalkanlah pendapatku.” Dan Imam Malik berkata, “Semua kita menolak dan ditolak pendapanya kecuali pemilik kuburan ini yaitu Nabi Muhammad SAW.” Sejalan dengan pernyataan ini Imam asy-Syafi’i pun berkata, “Perumpamaan orang yang menuntut ilmu tanpa mengetahui hujjahnya bagaikan pencari kayu bakar di malam hari dengan membawa seikat kayu dan ada seekor ular yang mematuknya sedangkan ia tidak mengetahuinya.” tuturnya. Begitu juga dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan, “Janganlah kalian ikuti pendapatku, Malik, Tsaury dan Auza’y tapi ambillah dari sumber (mana) mereka mengambil.” (Hakim, tanpa tahun).
Dari pernyataan 4 Imam madzhad di atas bahwa sebenarnya mereka pun menginginkan umat ini untuk meneliti pendapat yang mereka fatwakan dan berusaha menelusuri dalil yang dijadikan pegangan oleh mereka. Artinya tidak serta merta menerima pendapat mereka tanpa usaha untuk mengkritisi pendapat itu. Di sini letak kelemahan umat islam yang terkadang fanatik pada salah satu madzhab tanpa dibarengi dengan usaha untuk meneliti pendapat madzhabnya. Walaupan dari segi keilmuan dan kemampuan mengistinbatkan hukum mereka jauh lebih layak dibanding manusia pada umumnya. Akan lebih baik dan bijak jika kita tetap melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah yang muncul dengan tidak menafikan pendapat (ijtihad) mereka.
Penutup
1. Taqlid adalah mengikuti pendapat salah seorang mujtahid tanpa mengetahuhi dalil yang dijadikan pegangan oleh mujtahid tersebut.
2. Talfiq adalah mengambil pandapat dari berbagai madzhab kemudian memilih yang paling mudah dan ringan dalam penerapannya (aplikasinya).
3. Taqlid dibolehkan dalam hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad sedangkan dalam hukum-hukum yang tidak memerlukan penelitian dan ijtihad (al-ma’lum min ad-din bi adh-dharurah) tidak diperbolekan taqlid secara mutlak.
4. Pada hakikatnya para Imam madzhab tidak mengaruskan kaum muslimin untuk taqlid pada pendapat mereka namun justru menyarankan untuk meneliti dalil secara individu.
Saran
1. Taqlid dalam permasalahan hukum yang menghendaki penelitian dan ijtihad masih banyak terjadi. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan mukallaf untuk memahami dalil (hujjah) yang digunakan dalam istinbath hukum itu. Sehingga mereka cenderung bertaqlid yang dinilai mudah dan praktis. Untuk itu disarankan kepada para mukallaf untuk meneliti dalil yang digunakan dalam beramal. Manakala usaha telah dilakukan dan tidak menemui jalan keluar atau solusi karena keterbatasan dan lain sebagainya diperbolehkan untuk bertaqlid.
2. Para mufti yang memberikan fatwa kepada masyarakat luas diharapkan juga menyertai dengan penjelasan tentang hujjah yang dijadikan pedoman dalam permasalahan itu. Dengan demikian setidaknya mukallaf mengetahui hujjah ketika mengamalkan sesuatu itu karena sudah mendapat penjelasan dari mufti. Begitu jug sang mukallaf akan termotivasi menggali lebih dalam hujjah dari perkataan itu.

No comments:

Post a Comment